Alasan Memilih Prabowo atau Jokowi ?
MotivasiReaja.com - 9 Juli sudah di ujung tanduk,tidak lama lagi indonesia akan memilih president baru, tentunya president harapan rakyat yang dipilih secara demokrasi,dari raykat oleh rakyat dan untuk rakyat. Nah yang jadi persoalan adalah pilih prabowo atau jokowi ?
Belakangan ini media jejaring sosial facebook dan twitter heboh dengan kampanye yang saling menghujat dan menjatuhkan antara pendukung jokowi dan prabowo mengapa ?
Karena teori-teori jurnalistik hanya tinggal teori, karena pada praktiknya lebih banyak berisi kepentingan politik para pemilik medianya.
Pemilik media besar di Indonesia : selain pengusaha mereka juga elit parpol.
1. Metro TV - Media Group (Surya Paloh) NasDem
2. RCTI- MNC Group (Hary Tanoesoedibjo) Hanura
3. MNC TV - MNC Group (Hary Tanoesoedibjo) Hanura
4. Global TV - MNC Group (Hary Tanoesoedibjo) Hanura
5. Sindo TV - MNC Group (Hary Tanoesoedibjo) Hanura
6. Top TV - MNC Group (Hary Tanoesoedibjo) Hanura
7. TV One - Group Bakrie (Aburizal Bakrie) Golkar
8. AVTV - Group Bakrie (Aburizal Bakrie) Golkar
9. Jak-TV - Group Bakrie (Erick Thohir) Golkar
KORAN
1. Media Indonesia Media Group (Surya Paloh) NasDem
2. Seputar Indonesia MNC Group (Hary Tanoesoedibjo) Hanura
3. Trust MNC Group (Hary Tanoesoedibjo) Hanura
4. MNC Radio MNC Group (Hary Tanoesoedibjo) Hanura
5. Jawa Pos Multimedia Corp (JPMC) (Dahlan Iskan) Demokrat (?)
6. Rakyat Merdeka PT.Grafiti Pers (Dahlan Iskan) Demokrat (?)
MEDIA ONLINE
1. Vivanews.com Group Bakrie (Aburizal Bakrie) Golkar
2. Detik.com CT Corp (Chairul Tanjung) Demokrat (?)
3. Okezone.com MNC Group (Hary Tanoesoedibjo) Hanura.
Karena teori-teori jurnalistik hanya tinggal teori, karena pada praktiknya lebih banyak berisi kepentingan politik para pemilik medianya.
Pemilik media besar di Indonesia : selain pengusaha mereka juga elit parpol.
1. Metro TV - Media Group (Surya Paloh) NasDem
2. RCTI- MNC Group (Hary Tanoesoedibjo) Hanura
3. MNC TV - MNC Group (Hary Tanoesoedibjo) Hanura
4. Global TV - MNC Group (Hary Tanoesoedibjo) Hanura
5. Sindo TV - MNC Group (Hary Tanoesoedibjo) Hanura
6. Top TV - MNC Group (Hary Tanoesoedibjo) Hanura
7. TV One - Group Bakrie (Aburizal Bakrie) Golkar
8. AVTV - Group Bakrie (Aburizal Bakrie) Golkar
9. Jak-TV - Group Bakrie (Erick Thohir) Golkar
KORAN
1. Media Indonesia Media Group (Surya Paloh) NasDem
2. Seputar Indonesia MNC Group (Hary Tanoesoedibjo) Hanura
3. Trust MNC Group (Hary Tanoesoedibjo) Hanura
4. MNC Radio MNC Group (Hary Tanoesoedibjo) Hanura
5. Jawa Pos Multimedia Corp (JPMC) (Dahlan Iskan) Demokrat (?)
6. Rakyat Merdeka PT.Grafiti Pers (Dahlan Iskan) Demokrat (?)
MEDIA ONLINE
1. Vivanews.com Group Bakrie (Aburizal Bakrie) Golkar
2. Detik.com CT Corp (Chairul Tanjung) Demokrat (?)
3. Okezone.com MNC Group (Hary Tanoesoedibjo) Hanura.
Bingung dengan ini semua ? jangan nonton metro tv lah,jangan nonton Tv one lah ? kalaw pendukung nomor 1 menjelek-jelekan pendukung nomor 2 dan begitu juga sebaliknya,lalu siapakah yang baik ?
terserah kalian ajalah,itu hak kalian sebagai warga negara indonesia mau milih pak bowo atau mau milih pak joko,yang pasti 9 juli mendatang indonesia harus punya president bukan pak camat.
terserah kalian ajalah,itu hak kalian sebagai warga negara indonesia mau milih pak bowo atau mau milih pak joko,yang pasti 9 juli mendatang indonesia harus punya president bukan pak camat.
Perbedaan prabowo dan jokowi ?
Dari segi bicara saja, misalnya, Prabowo terlihat lebih tegas dan
lantang, sementara gaya bicara Jokowi selalu mengundang lawan bicara dan
yang mendengarnya tertawa bahkan kebingunan.
Sudah jelas tentu, gaya bicara Prabowo lebih tegas dan lantang dari Jokowi. Mengingat latarbelakang Prabowo dari seorang militer, sedangkan Jokowi dari sipil.
Sedangkan dari segi penampilan, Prabowo dengan Jokowi juga memiliki perbedaan. Jika Prabowo lebih terlihat apa adanya, sementara Jokowi lebih mengada-ada dengan cara mencari perhatian publik.
Misalnya, Prabowo-Hatta menggunakan Mobil Lexus sedangkan Jokowi-Jusuf Kalla mengendarai bajaj ketika mendatangi kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan pengundian nomor urut capres-cawapres di Pilpres 9 Juli nanti.
Pengamat politik dan hukum tata negara dari Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf mengatakan, pertunjukkan Jokowi-JK sebagai salah satu strategi kampanye untuk mencari perhatian publik. Menurutnya, sikap Jokowi-JK terlalu berlebihan dan pencitraan.
"Jokowi itu memang mengada-ada, terkesan berlebihan, pencitraan. Pejabat itu semestinya apa adanya, jangan terlalu cari perhatian," kata Asep, kepada INILAHCOM, di Jakarta, Senin (2/6/2014)
Asep mengatakan, gaya pencitraan Jokowi-JK sudah terbaca oleh publik. Sebab, kata Asep, saat ini rakyat Indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang berwibawa dan benar-benar peduli terhadap rakyatnya.
"Itu namanya marketing. Saya kira rakyat sudah cerdas," kata Asep sembari mengingatkan bahwa seorang pemimpin itu harus konsisten.
Menurutnya, kampanye kesederhanaan Jokowi-JK belum tentu menarik simpati publik. Mengingat Jokowi-JK sengaja memakai bajaj ke KPU hanya mencari perhatian publik.
Sementara Prabowo-Hatta menggunakan mobil Lexus yang sehari-hari digunakan oleh Prabowo. Hal itu menunjukkan bahwa Prabowo sebagai pemimpin yang apa-adanya.
"Kalau sehari-harinya pakai Lexus tidak masalah, kalau pakai kijang seharusnya pakai kijang saja. Jadi tidak mesti cari perhatian pakai bajaj. Kalau sehari-harinya pakai bajaj tidak masalah," (inilah.com)
Sudah jelas tentu, gaya bicara Prabowo lebih tegas dan lantang dari Jokowi. Mengingat latarbelakang Prabowo dari seorang militer, sedangkan Jokowi dari sipil.
Sedangkan dari segi penampilan, Prabowo dengan Jokowi juga memiliki perbedaan. Jika Prabowo lebih terlihat apa adanya, sementara Jokowi lebih mengada-ada dengan cara mencari perhatian publik.
Misalnya, Prabowo-Hatta menggunakan Mobil Lexus sedangkan Jokowi-Jusuf Kalla mengendarai bajaj ketika mendatangi kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan pengundian nomor urut capres-cawapres di Pilpres 9 Juli nanti.
Pengamat politik dan hukum tata negara dari Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf mengatakan, pertunjukkan Jokowi-JK sebagai salah satu strategi kampanye untuk mencari perhatian publik. Menurutnya, sikap Jokowi-JK terlalu berlebihan dan pencitraan.
"Jokowi itu memang mengada-ada, terkesan berlebihan, pencitraan. Pejabat itu semestinya apa adanya, jangan terlalu cari perhatian," kata Asep, kepada INILAHCOM, di Jakarta, Senin (2/6/2014)
Asep mengatakan, gaya pencitraan Jokowi-JK sudah terbaca oleh publik. Sebab, kata Asep, saat ini rakyat Indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang berwibawa dan benar-benar peduli terhadap rakyatnya.
"Itu namanya marketing. Saya kira rakyat sudah cerdas," kata Asep sembari mengingatkan bahwa seorang pemimpin itu harus konsisten.
Menurutnya, kampanye kesederhanaan Jokowi-JK belum tentu menarik simpati publik. Mengingat Jokowi-JK sengaja memakai bajaj ke KPU hanya mencari perhatian publik.
Sementara Prabowo-Hatta menggunakan mobil Lexus yang sehari-hari digunakan oleh Prabowo. Hal itu menunjukkan bahwa Prabowo sebagai pemimpin yang apa-adanya.
"Kalau sehari-harinya pakai Lexus tidak masalah, kalau pakai kijang seharusnya pakai kijang saja. Jadi tidak mesti cari perhatian pakai bajaj. Kalau sehari-harinya pakai bajaj tidak masalah," (inilah.com)
Tulisan saya ini berangkat dari opini Sunny Tanuwidjaja di Harian Kompas 6 Mei 2013 berjudul ‘Standar Jokowi’. Dalam opini itu, Sunny cukup memakai logika sederhana namun telak untuk menggugat mereka yang tidak adil ‘mengukur’ Jokowi.
Belakangan ini, utamanya setelah Jokowi mendapat
mandat untuk nyapres dari Megawati, standar ‘keberhasilan mengurus
Jakarta’ marak lagi dipakai oleh beberapa pihak – tak jarang para elite –
untuk ‘mengukur’ kelayakan Jokowi menjadi capres.
Gampangannya, jika dianggap berhasil mengurus
Jakarta, Jokowi layak nyapres, dan jika tidak, Jokowi tak layak nyapres.
Bahkan, mereka yang ekstrim langsung ‘melarang’ Jokowi nyapres dengan
alasan tugas politikus PDIP itu belum tunai, sehingga tak mungkin
keberhasilan kinerjanya di Jakarta diukur.
Entah apapun alasan mereka, Sunny telah jeli
membongkar cara berpikir mereka dengan logika sederhana. Menurut Sunny,
mengukur kelayakan Jokowi dan tokoh-tokoh lain yang ingin nyapres
haruslah menggunakan ‘penggaris’ yang sama. Artinya, jika ukurannya
adalah ‘keberhasilan mengurus Jakarta’, maka para capres lain harus
diukur dengan ukuran itu.
Namun, “Jika memang kelayakan para figur capres
tidak bisa diukur dengan ‘penggaris’ yang sama maka sebaiknya dicarikan
yang ‘penggaris’ setara. Di sinilah letak titik persoalannya. Panggung
memimpin Ibukota yang dimiliki Jokowi tidak dimiliki oleh capres-capres
yang lain sehingga tidak mungkin ukuran kelayakan menjadi capres yang
digunakan untuk Jokowi tersebut bisa digunakan kepada calon yang lain.
Bahkan sangat sulit, jika bukan mustahil, untuk mencarikan uji kelayakan
yang setara tingkat kesulitannya dengan panggung memimpin ibukota
tersebut.” (Sunny, 2013)
Karena tidak mungkin mencari ‘penggaris’ yang sama,
marilah kita mencari ‘ukuran yang setara’ untuk menguji kelayakan
Jokowi dan capres lain. Saya akan membandingkan Jokowi dengan Prabowo.
Kenapa Prabowo? Karena capres Partai Gerindra inilah yang menurut
sejumlah lembaga survei paling mampu bersaing dengan Jokowi.
Perbedaan yang mencolok dari Jokowi, 52 tahun, dan
Prabowo, 62 tahun, adalah latar belakang keduanya. Jokowi jelas orang
sipil murni. Sedangkan Prabowo (62) hampir separuh hidupnya mengabdi
pada TNI (dulu ABRI).
Dari fakta itu, sebenarnya sulit mencari ukuran
yang setara untuk menakar kedua tokoh tersebut. Akan tetapi, jika
dipaksakan mencari ukuran yang mendekati setara, maka titik temunya
adalah Jokowi dan Prabowo pernah (atau masih) menjadi penyelenggara
negara/pejabat publik – dalam artian jabatan yang digaji negara untuk
mengurusi kepentingan publik.
Jokowi, yang sebelumnya pengusaha mebel, mulai
meniti karier politik saat terpilih secara demokratis dalam Pilkada Kota
Surakarta pada 2005. Memimpin Surakarta selama satu periode, Jokowi
terpilih kembali dengan kemenangan mutlak – di atas 90 persen suara –
pada Pilkada Surakarta 2010. Masa jabatan periode kedua di Pemkot
Surakarta (2010-2015) tak selesai dijalaninya, karena menang di Pilgub
DKI 2012. Wali Kota Surakarta 2005-2012 dan Gubernur DKI Jakarta 2012-
sekarang adalah dua jabatan publik yang pernah dan masih diemban Jokowi.
Sedangkan Prabowo, berkarier sebagai anggota TNI
(dulu ABRI) sejak 1974 – seangkatan dengan SBY – dia pernah menjabat dua
jabatan penting dalam kesatuan di Angkatan Darat. Pertama adalah
Komandan Komando Pasukan Khusus (1996-1998) dan Panglima Komando
Cadangan Strategis yang hanya dijabatnya selama dua bulan (20 Maret-22
Mei 1998).
Jabatan yang singkat itu adalah imbas dari
pencopotan Letjen Prabowo Subianto sebagai Pangkostrad sekaligus anggota
TNI oleh Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto, karena dinyatakan terlibat
penculikan aktivis pada 1998. Inilah jabatan terakhir Prabowo sebagai
penyelenggara negara/pejabat publik di republik ini.
Setelah dicopot tanpa melalui peradilan militer,
Prabowo hijrah ke Yordania untuk berbisnis dan balik lagi pada 2004
untuk mengikuti Konvensi Capres Partai Golkar 2004, namun kalah.
Menghilang setelah kalah, Prabowo muncul lagi jelang Pemilu 2009 dengan
mendirikan Partai Gerindra. Kalah di Pilpres 2009 sebagai cawapres
Megawati, akhirnya pada 2014 ini Prabowo nyapres.
Lalu apa yang hendak diukur dari Jokowi (Wali Kota
Surakarta 2005-2012 dan Gubernur DKI 2012-sekarang) dan Prabowo (Danjen
Kopassus 1996-1998 dan Pangkostrad 20 Maret-22 Mei 1998)? Mari mengukur
prestasi keduanya dalam jabatan publik tersebut.
Saat ingin mencoba mengukur prestasi keduanya, saya
merasa tidak adil terhadap Prabowo yang ‘hanya’ pernah menjabat jabatan
publik sebagai petinggi militer. Sebab, saya sadar jabatan Danjen
Kopassus dan Pangkostrad efeknya kurang bisa dirasakan publik langsung
oleh publik. Beda dengan jabatan wali kota dan gubernur yang (pernah)
diemban Jokowi. Semua pelayanan publik yang baik di sebuah daerah,
hampir selalu diasosiasikan dengan kinerja kepala daerahnya. Apalagi,
jika kepala daerah memiliki strategi komunikasi yang ciamik seperti
Jokowi.
Mungkin saja ternyata prestasi Prabowo di militer
jauh lebih besar dari Jokowi, namun karena tidak dirasakan langsung,
publik menjadi tidak sadar bahwa sesuatu yang baik itu – misalnya
keamanan negara – adalah hasil kerja Prabowo. Bukankah kerja militer itu
– apalagi bidang intelijen – jauh dari peliputan media sehingga
pengetahuan publik minim atas hal itu.
Karena merasa kurang adil itu, maka saya mencoba
mengukur Jokowi dan Prabowo bukan dari prestasi (positif), tapi dalam
sudut pandang negatif. Maksudnya, mari kita lihat pelanggaran apa saja
yang sudah mereka perbuat selama menjabat. Pelanggaran di sini tidak
semata-mata harus ada vonis pengadilan. Sebab, melihat potret penegakan
hukum dan pengadilan yang karut marut sekarang ini, sulit untuk
berpegang sepenuhnya pada putusan hakim.
Lalu apa yang negatif dari Jokowi? Mencari yang
negatif dari Jokowi, bagi saya lebih sulit ketimbang melakukan hal yang
sama terhadap Prabowo. Mungkin kalau dicari-cari yang negatif dari
Jokowi adalah pengadaan bus Transjakarta dari China yang bermasalah. Tak
usah saya sebut apa permasalahannya, karena penyelidikan oleh KPK
terhadap pengadaan itu sudah cukup memberi kesan ada yang tak beres
dalam proyek lebih dari Rp 1 triliun itu.
Kemudian apa yang negatif dari Prabowo? Satu dari
beberapa hal negatif yang paling sulit dilepas dari Prabowo adalah
keterlibatannya saat menjadi Danjen Kopassus dalam kasus penculikan
aktivis dalam pergolakan reformasi 1998. Prabowo sendiri mengakui telah
memerintahkan Tim Mawar untuk menculik. Namun, Mahkamah Militer tidak
pernah menyentuh Prabowo yang masih menjadi menantu Soeharto kala itu.
Belakangan, selagi hiruk pikuk pencapresan 2014,
Prabowo kepada sebuah media mengatakan seluruh aktivis yang dia culik
sudah kembali. Dengan kata lain, Prabowo membenarkan bahwa dia
memerintahkan penculikan, tapi bukan terhadap 13 orang aktivis yang
masih hilang hingga sekarang. Kasarannya, Prabowo tidak bertanggung
jawab atas yang 13 itu.
Kesamaan sisi negatif Jokowi dan Prabowo di atas
adalah belum pernah ada putusan hukum atas dua hal itu. Terlebih dalam
kasus pengadaan bus DKI yang baru tahap ‘penyelidikan’. Berbeda dengan
penyidikan, penyelidikan adalah tahap awal mencari barang bukti atas
suatu dugaan tindak pidana korupsi. Artinya, bisa saja kemudian tidak
ada bukti atas proyek bus tersebut. Namun, seandainya ada, belum tentu
itu akan menyeret Jokowi.
Beda dengan Jokowi, Prabowo, meski belum pernah
diproses hukum, sudah mengakui telah melakukan penculikan. Tindakan
brutal itu akhirnya harus dibayar mahal dengan pencopotannya sebagai
Pangkostrad, yang baru dijabatnya selama dua bulan. Sementara Jokowi
belum pernah sama sekali dicopot sebagai penyelenggara negara/pejabat
publik karena pelanggaran, baik hukum maupun etik.
Belum pernah diproses secara hukum, bukan berarti
Prabowo lepas sepenuhnya dari jeratan hukum atas kasus penculikan.
Sebab, Pansus Orang Hilang DPR pada 2009 sudah mengeluarkan rekomendasi
kepada Presiden RI agar membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Presiden SBY
membiarkan rekomendasi tersebut, tapi bisa saja tidak bagi presiden
terpilih pasca-SBY. Artinya, jika Pengadilan HAM Ad Hoc atas kasus
penculikan akhirnya digelar, bukan tidak mungkin Prabowo yang lolos
dalam Mahkamah Militer bisa dijerat dalam pengadilan HAM (sipil). Atas
proses yang masih menggantung itu, Amerika Serikat tetap tidak mencabut
larangan visa bagi Prabowo masuk ke negeri Abang Sam itu.
Begitulah saya mengukur Jokowi dan Prabowo dengan
‘penggaris’ negatif yang diupayakan setara. Cara begini juga bisa
dipakai untuk mengukur atau membandingkan para capres yang ada. Sebab,
seperti kata Sunny (2013), kontestasi pilpres bukan bicara seorang tokoh
‘layak’ atau ‘tidak layak’ sebagai capres, tetapi apakah seorang tokoh
‘lebih layak’ atau ‘kurang layak’ dibandingkan yang lain. Dalam sebuah
kompetisi harus ada pemenangnya, dan siapa yang menang tentu diharapkan
adalah yang terbaik dari deretan peserta yang mungkin kurang baik.
Miris. . .
ReplyDelete